Posted on 00.50

CERPEN

Love Is Sweet


“Ardi, loe tau nggak. Serly anak cewek di lokal sebelah?” tanya Dion sambil menikmati jus pesananya di kantin sekolah. Saat itu memang jam istirahat.

Ardi menghentikan aktifisas mengaduk – aduk kuah bakso pesanannya. Menoleh kearah Dion lurus. Serly?. Tentu saja ia kenal. Itu cewek kan yang selama ini ia taksir diam – diam.



Hanya saja ia belum berani untuk mengungkapkannya. Bukan, tentu saja bukan karena takut di tolak. Bukan bermaksut sombong atau sok kepedean, tapi memang sudah menjadi rahasia umum kalau ia memiliki wajah di atas rata – rata Kalau nggak boleh di bilang keren.

Jadi mustahil ia ditolak cewek. Hanya saja selama ini ia belum memiliki kesempatan untuk mengungkapkannya. Tapi kenapa tiba – tiba Dion menanyakannya?.

“Kayaknya gue naksir deh sama tu anak”.
“Uhuk uhuk” Ardi yang baru memasukan sesuap kuah baksonya kontan langsung tersedak mendengar kalimat lanjutan yang keluar dari mulut temannya barusan.
“Ah elo, kalau makan hati – hati donk” Kata Dion sambil menyodorkan segelas air putih kearah Ardi yang langsung diteguk habis olehnya.

“Loe bilang apa barusan?. Loe naksir sama dia?” Tanya Ardi langsung.
Tanpa menyadari nada aneh plus kaget dari Ardi dengan santai Dion mengangguk.
“Iya, rencananya besok gue mau nembak dia. Loe sebagai sahabat doain gue ya. Semoga aja gue di terima sama dia. Sekalian hari ini biar gue yang traktir deh.

Ardi hanya terdiam. Tiba – tiba napsu makannya langsung menguap begitu saja. Bakso yang ada di hadapannya sama sekali sudah tak mampu menarik minatnya. Pikirannya hanya satu. Sahabatnya akan menyatakan cinta pada cewek yang di taksirnya. Astaga,,....

Setelah menbereskan buku – bukunya Ardi segera melangkah pulang. Teriakan Dion yang memintanya untuk berbarengan sama sekali tidak ia indahkan. Moodnya benar – benar memburuk. Sambil melamun ia terus melangkah sampai tanpa sadar tubuhnya bertabrakan dengan seseorang yang kebetulan baru muncul dari pintu kelas sebelah yang ia lewati. Sepertinya cewek itu tadi juga melangkah tanpa melihat – lihat karena sibuk membalas sms dari hape nya yang kini sudah tergeletak berhamburan di lantai.

“Aduh, sory sory sory. Gue nggak sengaja” Kata Ardi sambil berjonkok mengambil bagian – bagian benda mungil yang bernasip tidak beruntung itu.
“Yah, hape gue. Rusak donk” Keluh cewek itu yang membuat Ardi merasa tidak enak. Dan betapa terkejut nya ia saat menyadari kalau cewek yang berdiri tepat di hadapannya ternyata Seryl. Cewek yang selama ini di taksirnya. Bahkan sekarang temannya juga ikut – ikutan.
“Sory.

Gue tadi beneran nggak sengaja. Tapi coba bentar gue liat” kata Ardi sambil mengulurkan tanggannya meminta seryl untuk menyerahkan batray hape yang berada di tangannya.
Beberapa menit kemudian hape itu sudah kembali terpasang seperti semula. Dengan hati – hati Ardi mencoba untuk menyalakannya. Setelah menunggu beberapa saat barulah benda mungil itu menyala. Dan untung saja sepertinya masih berfungsi dengan baik sehingga Ardi bisa merasa sedikit lega dan langsung menyerahkan pada pemiliknya.

“Ardi?” Pertanyaan bernada bingung sekaligus kaget meluncur dari mulut Seryl yang sepertinya memang baru menyadari siapa yang menabraknya karena tadi perhatiannya hanya terpusat pada hapenya. Sementara Ardi sendiri seperti orang bodoh hanya yang hanya menganggukan kepala sambil tersenyum simpul. Hei, bukankah kebanyakan orang akan terlihat bodoh bila bersama orang yang di sukainya. Dan sepertinya ardi juga termasuk kedalam katagori orang – orang bodoh tersebut.
“Drrrtt...”

Getaran hape di tangan Seryl mengetkannya. Matanya hanya memperhatikan raut wajah Serly yang mengerakan jarinya dengan lincah. Mengetikan kata yang Ardi sendiri tidak tau apa.

“Eh, gue udah di tungguin sama kakak gue. Sory ya gue duluan” Pamit Seryl sambil berlalu. Dan lagi – lagi Ardy hanya membalasnya dengan anggukan. Barulah setelah bayangan gadis itu hilang dari pandangan ia menyesali dirinya sendiri yang tadi sama sekali tidak berkutik. Hilang sudah kesempatan untuk mengenal gadis itu lebih jauh. Dengan lemes ia segera melangkah menuju kearah parkiran. Dimana motornya berada.


Keesokan harinya ardi hanya mampu menatap Dion yang kini duduk di sampingnnya dengan heran. Kenapa tampang sahabatnya hari ini terlihat kusut sekali. Berbanding balik dengan wajah yang ia lihat terakhir kalinya kemaren.
“Kenapa loe?” Tanya Ardi.
“Nggak papa” Balas Dion tanpa minat.

Ardi kembali terdiam. Diliriknya jam yang melingkar di tangan. Pukul tujuh kurang 15 menit. Masih ada sekitar setengah jam’an sebelum pelajaran pertama di mulai. Setelah menimbang – nimbang untuk beberpa saat akhirnya mulutnya terbuka. Sama sekali tidak mampu menahan rasa penasarannya.
“Oh ya, gimana kemaren. Loe jadi nembak dia?” tanya Ardi sambil berusaha menjaga nada bicaranya agar tetap terdengar datar.

“Hufh...” Dion tampak menghembuskan nafas beratnya. “Itu yang bikin gue hari ini nggak semagat. Gue di tolak sama dia”.
“O....” Mulut Ardi hanya mampu beroh ria. Tiba – tiba saja ia merasa lega mendengar berita yang baru saja di dengarnya. Tapi karena tak ingin di angap tertawa atas penderitaan orang lain Ardi kembali terdiam.

“Dia bilang dia udah naksir sama cowok laen”.
“Apa?” Tanya Ardi refleks saat mendegar alasan yang keluar dari mulut Dion. “Siapa?” Sambung Adri lagi. Dion hanya angkat bahu. Dan sebelum mulut Ardi kembali terbuka untuk bertanya kemunculan bu sitah di depan pintu kelas sudah terlebih dahulu menginterupsinya. Mau tak mau Ardi terpaksa menelan kembali rasa keingin tahuannya.
***
Begitu jam istirahat bukannya kekantin seperti biasa Ardi justru malah keperpustakaan. Ada buku yang harus ia cari. Setelah mendapakan buku yang ia cari Ardi segera melakah menuju kearah meja. Beberapa menit kemudian ia hanyut kedalam buku yang ia baca. Mengerjakan tugas yang harus ia selesaikan secepatnya. Karena keasikan ia Sama sekali tidak menyadari orang – orang disekelilingnya.
Begitu tugasnya selesai, Ardi segera bangkit berdiri. Pada saat bersamaan seseorang yang sedari tadi duduk di sebelahnya juga berdiri. Hampir saja Ardi terjungkal jatuh karena kaget saat menyadari seryl yang sedang menatapnya lurus.


“Asik banget kayaknya. Sampe gue sedari tadi disini sampe nggak nyadar”.
“He?” Ardy mengernyit bingung. Sementara seryl sendiri hanya angkat bahu sambil tersenyum kemudian segera berlalu.
Seolah baru menyadari sesuatu setengah berlari Ardy menyusul seryl keluar kampus.
“Seryl tunggu”.
“Kenapa?” tanya Seryl sambil menatap mata Ardy yang kini berdiri tepat di hadapannya.
“Ehem... Gue boleh nanya nggak?”.
Seryl tidak menjawab. Ia hanya memberikan isarat agar Ardy melanjutkan ucapnnya.
“Kemaren Doni nembak elo ya?”.

Walau bingung tapi seryl tetap mengangguk.
“Terus katanya loe tolak?”.
Lagi – lagi Seryl hanya membalas dengan anggukan.
“Kenapa?” Tanya Ardy lagi.
Kali ini Seryl terdiam. Mencoba mencerna maksut ardy menanyakan hal itu padanya.
“Memangnya dia nggak bilang alasannya?” bukannya menjawab Seryl malah balik bertanya.
“Dia bilang si, katanya loe udah naksir sama cowok laen. Bener?”.
Seryl hanya angkat bahu.


“Siapa?” tanya Ardy tidak mampu menahan rasa ingin taunya.
Untuk sejenak Serly menarik nafas berlahan. Sambil tersenyum ia menatap kearah Ardy yang terlihat sedikit gelisah menanti jawabannya.
“Loe yakin pengen tau”.

Walau tidak yakin ia benar – benar ingin tau, namun tak urung Ardy mengangguk.
“Elo”.
“Ha?” Mulut Ardy terbuka. Asli nggak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
“Elo. Orang yang gue suka itu elo” Seryl menegaskan kalimatnya dengan santai.
Ardy terdiam. Kali ini ia yakin ia tidak salah dengar. Ditatapnya Seryl yang kini berdiri tepat di hadapan dengan senyum yang menhiasi bibir nya. Dan pada detik berikutnya senyuman yang sama juga menghiasi bibir Ardy.


“Gue juga suka sama loe. Nggak, maksut gue sangat”.
Dan kali ini senyuman lebar benar – benar menghiasi Bibir keduanya. Hei, Cinta memang selalu datang pada waktunya bukan?.
End?.
He he he, Endingnya maksa banget ya?. Maklum aja lah. Namanya juga ide dadakan.

Itulah Cerpen Cinta nya moga aja kalian suka  ayoo silakan koment dechh di bawah biar rame karya dari kak Merrya Starnight merupakan blogger juga seperti saya makasiihh ya kk cerpennya hehhe



KENANG-KENANGAN DIKALA HUJAN

Dalam keheningan malam,aku terdiam membisu,teringat aku akan kenangan dua tahun  lalu, saat kita masih bersama terbius dalam lakon kisah klasik masa remaja yang indah.

Entahlah apa yang terjadi, tiap kali aku melihat bintang, aku seperti melihat pancaran sinar matamu yang berhasil menggodaku terjebak dalam kesalahan termanis. Yah! Mencintaimu adalah kesalahan bagiku, namun mencintaimu adalah dosa terindah yang pernah kuperbuat.

Entah apa yang ada dalam pikiranku, tiap kali kumelihat sinar matamu, maka tiap kali juga aku melihat fatamorgana surga yang sebenarnya adalah neraka.


“Tidak ini tidak boleh terjadi”,bisik malaikat dalam hati yang mencoba menyadarkanku Aku sendiri yang telah membuat keadaan seperti ini. Aku sendiri yang telah menjodohkanmu dengan sahabatku. Hingga akhirnya misi ini berhasil, tiba-tiba kau datang padaku dengan mengucap kata cinta yang berhasil membuatku melayang tinggi. Higga akhirnya aku sadar dan terjatuh kembali.

Seharusnya kata cinta itu bukan buatku, seharusnya kau ucap itu untuk sahabatku. Yah, untuk sahabatku, Maya. Dia lebih berhak, Pengorbanannya untukmu lebih besar, bahkan mungkin dialah yang lebih bisa membuat harimu lebih berwarna dengan kehangatan dan kelembutan yang dia miliki. Kenapa kau ucapkan kata itu untukku? Tak sepantasnya aku mendengar kata cinta itu darimu.“Nur,kenapa kau diam?Kau tak suka denganku. Aku tahu kau selalu berusaha mendekatkanku dengan sahabatmu itu, tapi Nur, bukan dia yang aku mau”,tuturnya penuh dengan kelembutan.
“Kenapa,?”tanyaku mencoba mencari tahu alasannya.
“Kenapa kau bilang? Bukannya dari dulu kita sudah saling mengenal. Aku lebih mengenalmu daripada Maya dan aku lebih suka kepribadianmu daripada Maya. Sebelum kau mempertemukanku dengan Maya, aku sudah jatuh hati padamu Nur,hingga akhirnya kau mencoba untuk mendekatkanku dengan Maya. Aku pikir jika aku dekat dengan Maya, aku akan memiliki banyak kesempatan untuk melihat senyummu bahkan membuatmu jatuh hati.

Tapi sayang sekali, dugaanku ternyata salah, tak sedikitpun kau menoleh padaku. Bahkan kau selalu berusaha membuat waktu agar aku dan Maya bisa jalan berdua..” Mendengar kata-kata emosional dari Ardian, lelaki yang berusaha aku jodohkan dengan sahabatku Maya membuatku terdiam seribu bahasa. Tak sepatah katapun bisa aku lontarkan untuk membalas pernyataan yang berhasil membuatku kalah telak. “Kenapa kau lagi-lagi diam Nur, ayo jawab pertanyaanku Nur. Kenapa kau hanya diam Nur? Padahal kau tak pernah kalah dalam adu argumen, kau paling jago Nur kalau adu argumen. Tapi kenapa kali ini kau hanya diam? Ah! Mungkin kau benar-benar tak pernah menganggapku, ya sudahlah kalau begitu.” Ardian berlalu pergi sambil meninggalkan penyesalan dalam hati.

Andai saja kau tahu perasaanku yang sebenarnya. Andai saja kau ucapkan kata cinta itu dari dulu, sebelum Maya memintaku untuk menjadi perantara agar bisa dekat denganmu. Aku tak mungkin katakan yang sebenarnya . Pengorbanan Maya untukmu lebih besar daripada aku. Bahkan cinta Maya untukmu juga lebih besar. Sementara aku, aku tak pernah berbuat sedikitpun untuk menunjukan rasa sayang padamu. Lagipula, aku tak mungkin menghancurkan perasaan sahabatku sendiri. Aku yang telah membuat kalian lebih dekat. Hingga sahabatku Maya jatuh amat dalam pada perasaan cinta dan sayang untukmu Ardian. Seandainya aku bisa katakan semua ini dihadapanmu. Seandainya kau bisa mendengar langsung kenyataan ini. Kali ini, aku hanya bisa mengatakan kenyataan ini di bawah derasnya hujan agar kau tak bisa mendengarnya. Biarlah gemuruh petir dan derasnya hujan yang mendengarnya karena aku tak ingin melukai kalian. Aku tahu kau pasti bahagia dengannya. Aku yakin Maya pasti bisa memberikan kebahagiaan dan warna yang cerah dalam harimu. Aku yakin itu.



ILALANG SENJA


Senja ini sangat sepi. Mentaripun akan kembali ke peraduannya. Tampaklah ilalang yang indah bergoyang disiul angin.
"Sendiri saja dek Kinan ?".

Ucapan Alfa mengagetkan seketika lamunan Kinanti yang asyik memandangi matahari terbenam.
"Kak Alfa ?!"

Kinanti tersenyum membalikkan badan kepada Alfa yang telah berdiri di belakangnya.
"Sudah lama berdiri disitu Kak ?".
"Aku baru saja tiba dek. Kelihatannya lagi asyik nih".

Ungkap Alfa sedikit menggoda.
"Ayo duduk Kak."
Kinanti bergeser dari posisinya.
"Inilah kebiasaan aku Kak. Aku sering duduk sendiri disini hanya untuk melihat matahari terbenam".
Alfa menatap Kinanti dan duduk disampingnya.
"Tuh lihat indah banget kan Kak ?".

Ujar Kinanti kemudian sambil menunjukkan matahari yang sudah berwarna  orange akan tenggelam.
"Iya. Indah banget. Dek Kinan gak ikut ayah ke Bandung ?".
Tanya Alfa sambil menggoyang-goyangkan ilalang disampingnya.
"Ayah kan mau kerja Kak di bandung, masak aku ikut. Nah kalau untuk bertamasya aku pasti ikut".
Jawab Kinanti lembut.
"Aku punya tempat yang indah yang ingin aku tunjukkan padamu. Itupun kalau Dek Kinan gak merasa keberatan aku ajak kesana".
"Dimana itu Kak ?"
"Rahasia dong. Kalau dek Kinan bersedia, aku antar deh kesana."
Gumam Alfa.
"Gimana setuju nggak ?".

Lanjut Alfa.Kinanti yang sedari tadi terus memandangi matahari terbit, pandangannya beralih menuju Alfa sesosok lelaki yang selalu menemaninya di kala masih kecil hingga saat ini.
"Oke. Aku setuju".
Kinantipun bangkit dari tempat duduknya dan mengangkat genggaman tangannya.
"Yuk.. Kita pergi sekarang".
Ujar Alfa menggenggam tangan Kinanti dan mengajaknya pergi menaiki sepeda mustangnya". Mereka tampak menikmati suasana sore kala itu. Alfa terus menggoes sepedanya sedangkan Kinanti asyik bernyanyi di boncengan Alfa.
"Jangan lagu itu dong dek. bosan dengernya, yang ceria dong lagunya".
Protes Alfa begitu mendengar Kinanti menyanyikan lagu Opick(Tombo Ati).
"Kak Alfa suka lagu apa ? Biar aku nyanyiin sekalian".
Ucap Kinanti di belakang.
"Gimana kalo lagu D'masiv ?" tawar Alfa yang kemudian membunyikan klakson sepedanya begitu ada orang yang menyapa mereka di tengah perjalanan.
"Kriiing...".
Begitulah suara klakson sepedanya. Maklumlah sepeda jaman dahulu kala.
"Kak Alfa suka musik pop ya ?. Gimana kalau aku nyanyiin lagu Ungu saja Kak !".
"Pas banget. Dek Kinan juga suka lagu itu ya ?".
Tanya Alfa tersenyum saat didengarnya Kinanti mulai bernyanyi. Menyanyikan lagu Ungu (Cinta Dalam Hati).Alfa membelokkan sepedanya ke arah dimana danau mini berada.
"Sudah sampai dek".
Ucap Alfa memberhentikan sepedanya. Keringat telah membasahi sebagian tubuhnya.
"Inilah tempat yang ingin aku tunjukkan padamu dek".
Ujar Alfa tersenyum  bahagia."Mana sawerannya Mas ?".
Seru Kinanti mengangkat kedua telapak tangannya di depan Alfa.
"Haha... Kamu itu lucu juga ya dek".
Alfa mengusut-ngusut rambut Kinanti.Kinantipun mambalas senyuman hangat Alfa.
"Ini tempatnya Kak ?"
Tanya Kinanti dengan raut wajah tak suka.
"Kok cemberut. Tempatnya jelek ya ? dek Kinan gak suka ya ?".
Ungkap Alfa yang mengelapi keringat di wajahnya.Kinanti memutar-mutar bola matanya dan memainkan bibirnya.
"Kok gitu dek ?".
Alfa sepertinya mulai resah karena Kinanti tidak menyukkai tempat yang dianggapnya indah itu.
"Hmmm...".
Kinanti menarik nafasnya dan segera menghembuskannya.
"Ya sudah kalo dek Kinan gak suka. Aku tunjukin tempat yang lain yang gak kalah indahnya, gimana ?".
Alfa menawarkan opsi lain.
"Siapa bilang gak suka... Aku tuh nyaman lagi kak disini. Makasih ya sudah ngajak aku kesini".
Kinanti berlari menuju tepi danau dan menainkan sedikit air danaunya.
"Sekarang kamu sudah pandai menjahili aku ya dek".
Ungkap Alfa yang kemudian mengejar Kinanti.Mereka berbasah-basahan bermain air, padahal hari sudah semakin larut. bak anak kecil saja mereka. Sangat bahagia begitu melihat air dan bermain-main bersamanya.Sepuluh menit kemudian terdengar suara adzan maghrib berkumandang. Alfa dan Kinantipun mengakhiri permainannya dan kembali menaiki sepeda Alfa untuk segera pulang dan membersihkan tubuh mereka. *****
"Kinan... kamu kemana saja ? kemarin sore aku main ke rumahmu tapi kamunya gak ada. Aku mencarimu ke tempat biasa pun gak ada. Kemana sih kamu ?".
Gerutu Isna.
"Kemarin tuh emang bener aku lagi di tempat biasa tapi begitu ada kak Alfa, diajaknyalah aku ke suatu tempat".
Jawab Kinanti."Kemana Nan ? asyik nih diajak main bareng kak Alfa. wiiit...wiiiiww...".
Ungkap Isna bersemangat dan bersiul-siul bagitu mendengar nama Alfa.
"Apaan sih kamu.. emang dari dulu aku sudah temenan sama kak Alfa, so gak ada yang aneh dong". Jelas Kinanti.
"Hehe.. iya,, aku lupa". Ucap Isni cengengesan.
"Oh ya, Nan. si Andri juga nyariin kamu terus tuh dari kemarin. serem aku ngelihatnya. udah kayak berandalan aja sekarang gayanya".
"Ngapain dia nyari aku ? aku juga takut dengan dia Is".
"Ya sudah. kamu jadian aja sama Kak Alfa. sebelum si Andri ngajak kamu nikah".
"APA ?! NIKAH ?". kamu jangan sembarangan gitu dong Is sama aku. lagian mana mungkin coba, aku kan gak pernah ngasih dia peluang".



HADIRMU ADALAH KETERKEJUTANKU


          Awal aku berkenalan denganmu saat itu aku sedang memasuki tahun kedua dan baru saja beberapa bulan putus dari mantan pacarku yang – kalau tidak salah ingat – hanya berumur empat bulan. Dengan alasan yang sepele dan tidak logis aku memutuskan hubungan itu. Entahlah, mungkin saat itu aku sedang mangkat-mangkatnya dengan segala kesempurnaan yang aku punya sehingga meremehkan hubungan yang ada.
          Sebagai pihak yang memutuskan memang aku tidak tahu bagaimana rasanya berada di pihak yang diputuskan; bagaimana rasanya ingin selalu tetap bersama orang yang disayangi; bagaimana rasa sakitnya menerima keputusan dari orang yang disayang. Kuakui saat itu memang egois. Sebenarnya diriku sendiri jauh dari kata ‘sempurna’ seperti orang-orang yang memang mendapatkan predikat itu. Sempurna yang aku maksud di sini adalah aku dengan lingkungan sosialku; aku dengan kegiatan perkuliahanku; aku dengan segala aktivitasku; aku dengan adrenalin yang memompaku untuk terus menerus bergerak. Aku yang cukup mandiri dan tak mau ditentang; aku yang selalu benar dan tidak mau disanggah. Tak ayal kehidupanku dengan lawan jenis pun juga sedang gencar-gencarnya. Keakuan dan darah mudaku. Ya itulah aku. Tapi itu dulu sebelum bertemu seseorang yang mengajarkanku tentang kehidupan yang sebenarnya. Perubahan drastis yang benar-benar berbeda antara aku dulu dan sekarang. Satu kalimat bijak yang selalu kuyakini,
“Suatu akhir merupakan sebuah awal perjalanan baru”.
         Aku cukup ingat bagaimana kita berkenalan, mungkin bisa dikatakan agak sedikit aneh. Perkenalan itu terjadi melalui pesan singkat yang masuk di kotak masuk telepon selulerku (ponsel). Tanpa basa basi kamu langsung mengajakku berkenalan dengan menyebutkan nama, umur dan tempat tinggalmu. Hanya keterkejutan yang aku dapatkan. Keterkejutan itu diantaranya adalah pertanyaan-pertanyaan tentang kamu dapat dan tahu dari mana nomor ponselku, karena selama aku punya ponsel beserta nomornya, aku tidak pernah menggunakan untuk hal-hal yang kuanggap norak atau kampungan seperti kenalan. Keterkejutan yang dibarengi dengan keanehan. Tapi sudahlah, seandainya saat itu aku tidak menanggapimu, aku tidak akan benar-benar bisa belajar tentang arti hidup sebenarnya; tentang kehidupan cinta khususnya.

Perkenalan dan keanehan pun berlanjut, hingga akhirnya kamu intens menghubungiku dan juga sebaliknya. Dengan kesadaran tinggi bahwa perkenalan kita yang cukup aneh tapi tetap saja komunikasi dilakukan. Kita yang berbeda hampir 12 tahun dari usia masing-masing pun tidak jadi penghalang dalam komunikasi, karena memang bukan itu alasanku untuk mempunyai banyak teman. Kamu yang begitu mempunyai wawasan luas; kamu yang tidak membosankan ketika berdiskusi; kamu yang menyenangkan dalam batasan candamu. Kamu yang bisa mengontrolku tanpa harus mengekang; kamu yang bisa diandalkan dalam menyelesaikan masalah dan memberikan solusi melalui beberapa pilihan tanpa memaksakan kehendak. Kamu yang selalu bisa membuatku terkagum-kagum dengan pembawaan apa adanya. Aku seakan menajadi salah satu fans berat kamu saat itu.
Semua hanya masalah waktu. Tibalah saat itu, untuk pertama kalinya kita bertemu. Janji temu yang dilakukan ditempatmu, daerah Jakarta Selatan bersebrangan dengan Taman Makam Pahlawan. Rumah dengan beberapa kamar kost, satu dapur dan halaman yang agak luas, cukup untuk memarkir beberapa kendaraan di sana. Kostanmu dengan kamarnya berukuran 5 x 6 meter dan dilengkapi tempat tidur yang cukup untuk satu orang serta televisi 14 inch, kipas angin, sebuah kulkas, lemari pakaian dan beberapa perlengkapan lainnya. Untuk pertama kalinya juga aku melihat penampakanmu yang menjemputku tepat dimana kita janjian untuk bertemu di depan Taman Makam Pahlawan. Kamu yang saat itu hanya mengenakan kaos dalaman putih dan bercelana pendek dengan postur tubuh yang lebih tinggi sedikit dari aku, berkulit putih bila dibandingkan denganku, berperawakan tegas dan terlihat santun. Sejjurnya saat itu juga yang ada dibenakku adalah apa yang aku lakukan hingga bisa mendatangi dan menyetujui janji temu ini? Pikiran bodoh yang selalu timbul di saat-saat terkahir setelah kejadian.
Perasaanku saat bertemu dengan kamu bagaikan seorang peserta yang sedang mengikuti acara disalah satu televise dimana peserta diminta untuk membuktikan apakah terdapat makhluk lain selain manusia di sebuah tempat menyeramkan dan hanya ditemani sebuah lilin. Iya, seperti itulah perasaanku. Asing karena berada di tempat kamu, ketar ketir karena mungkin saja aku berkenalan dengan seorang psikopat. Namun dilain hal niat baikkulah yang menenangkanku dan biasanya memang benar, apa yang kita niatkan di awal tentang kebaikan maka akan berakhir baik pula.
        Lucu sekali bila kuingat momen pertemuan itu. Semua cara dan pembawaanmu yang tidak jauh berbeda seperti saat di telepon atau pesan singkat. Sejam, dua jam hingga aku tersadar matahari pun sudah mulai akan berpamitan kepada dunia. Kebersamaanku denganmu pun harus disudahi. Apakah aku mulai nyaman berada deketmu? Sampai sanggup berlama-lama dan tak sadar akan waktu. Atau mungkin waktu yang terlalu berjalan sangat cepat? Sampai-sampai aku tak sempat merasakan detiknya.
Baru saja kuberdiri untuk berpamitan, tiba-tiba tanganku menyambar tanganku dan mata kita sudah bertatapan tajam satu sama lain. Lalu dengan nada suara yang serius kamu mulai berkata, “Dari awal kita berkenalan dengan ketidaksopananku dan di sana ada proses aku mengenalmu aku merasakan hal yang berbeda yang aku sendiri sulit untuk menjelaskannya, entah apa itu, saat ini mungkin adalah waktu yang tepat bahwaku benar-benar sayang kamu dan aku mau jadi lelakimu untuk menjalani hubungan yang lebih serius. Kamu mau terima aku?”. Layaknya seseorang yang sedang ditantang untuk menaiki bungy jumping. Jantung kamu terpacu kencang mulai dari saat menaiki kereta (lift) menuju ke atas untuk sampai di tempat yang tingginya hampir 200 meter dari tanah dan petualangan tidak berhenti di situ. Setelah sampai di atas kamu akan di ikat kakinya dengan pegas berukuran besar dan lompatlah kamu. Itulah yang dapat aku gambarkan ketika menerima ucapannya. Ucapan yang tidak pernah ada dalam pikiranku bahkan tidak pernah kuprediksikan sebelumnya. Dan aku hanya meresponya, “Beri aku waktu untuk menjawab. Aku janji secepatnya aku akan kabari kamu.” Kemudian kamu pun mengantar dan menungguiku sampai naik angkutan umum dengan nomor yang sama yang membawaku ke tempatmu tadi.
         Dua hari, iya, dua hari cukup bagiku untuk memastikan tentang perasaanku padamu. Aku semangat sekali hari itu. Dan kamu pun tak henti-hentinya menjalan komunikasi yang lebih intens lagi dari sebelumnya, mulai dari kemarin lusa pada saat di jalan menuju rumah hingga sampai di rumah. Serta seharian lalu. Menyenangkan rasanya. Aku meminta kamu untuk dating ke rumahku. Rumahku yang letaknya di Tangerang dekat dengan Sekolah Tinggi Adminitrasi Negara; rumahku yang ditinggali orang-orang tersayang dan mungkin saja kamu akan menjadi bagian dari orang-orang tersayang itu. Itu cuma kemungkinan kecil saja. Mendekati waktu isya, kamu sudah sampai dirumahku; bertamu. Aku sudah bisa mengetahui apa yang kamu rasakan saat itu. Persis seperti saat aku pertama kali dating ketempatmu. Luar biasa deg-degan bukan?
Satu persatu kuperkenalkan anggota keluargaku. Sehauh yang kulihat tanggapan mereka positif mengenaimu. Sejauh itu pula aku melihat bentuk mukamu yang gelisah dan tak sabar untuk tahu tentang jawabanku atas pertanyaanmu kemarin lusa. Waktu bertamu pun usai. Kamu makin kelihatan putus asa dan tak bersemangat. Pembicaraan seperti terpaksa. Di penghujung malam itu aku sembari menemanimu yang pamit pulang kuantar hingga depan pagar rumah. Dan sebelum kamu mengucapkan sesuatu, yang mungkin ucapan untuk berpamitan pulang, aku secara reflex menggapai tanganmu seperti yang kamu lakukan dulu, lalu.. “Aku mau kamu menjadi lelakiku. Aku mau kit apunya hubungan yang serius. Hanya aku dan kamu.”. Kamu tahu? Rona wajahmu langsung berubah mirip orang yang mendapatkan hadiah lotere dengan kesetiaan menunggu yang luar biasa. Tidak dapat dipungkiri bahwaku juga merasakan hal yang sama. Lalu dengan rasa sayang dan lembut kecupan bibirmu sudah ada di keningku. Dan malam itu akan menjadi malam yang bersejarah yang selalu akan kita ingat ditemani dengan cerahnya bulan dan bintang serta sebuah saksi bisu yaitu pagar rumahku. Keyakinan akan tertidur lelap dan bermimpi tentang kita sudah dapat dipastikan akan terjadi.
Hari demi hari. Bulan demi bulan. Tak terasa sudah hamper dua tahun kita menjalani hubungan ini. Tahun pertama di hari jadi kita, kamu menghadiahi aku sebuah kamera digital dan foto kita saat kencan pertama di sebuah restoran yang secara diam-diam entah siapa yang mengambil gambar itu. Tahun kedua kamu memberikan kejutan lain, kamu memberikan sepasang cicin yang di dalam lingkarannya terdapat inisial aku dan kamu. Dengan tulus kamu mengatakan bahwa ingin mempunyai hubungan ke tahap selanjutnya yang lebih serius. Kamu selalu punya cara meberikan kejutan-kejutan dalam hubungan ini. Kespontanitasan kamu yang membuatku menilai bahwa ku tak pernah salah menerimamu sebagai lelakiku saat itu.
          Kedekatanmu dengan keluargaku semakin membulatkan keyakinanku bahwa kamulah orangnya. Kamu yang tanpa kuketahui ternyata punya keahlian memasak ketika kumain ke kostanmu. Itu membuatku terkejut. Kamu yang tiba-tiba dating ke tempat perkuliahanku hanya untuk makan siang bersama-sama. Itu membuatku terkejut. Kamu yang ketika itu mengetahui aku kurang sehat dengan rela menemani dan setia merawatku meskipun aku pasti akan sehat lagi. Itu membuatku terkejut. Kamu yang ternyata juga banyak kesamaan dalam hal musik, tontonan dan tak pernah mengeluh ketika ku ajak belanja-belanja. Sampai-sampai kita punya lagu untuk kita. Segalanya tetap membuatku terkejut.
Luar bisanya kesabaran yang kamu punya dalam menanganiku adalah hal terbesar mengapa aku di sini bersamamu; mengapa hubungan ini tetap bertahan. Ada kamu, aku ada. Mirip salah satu judul film Indonesia. Tapi memang benar adanya. Aku mungkin bukan siapa-siapa tanpa kamu; aku mungkin tidak akan menemukan jati diri tanpa kamu.
Banyak hal sudah kita lalui selama dua tahun hubungan yang kita jalin. Sekarang memasuki tahun ketiga aku masih tak punya ide apa yang kamu lakukan di hari jadi kita nanti. Impianku hanya satu dan tidak terlalu muluk. Aku ingin kamu terus ada disampingku dan terus menjadi lelakiku yang apa adanya kukenal awal lalu. Dan semoga hubungan yang kita jalin ini selalu dberkahi. Itu saja tidak lebih.
Terlalu banyak makna cinta dari tokoh-tokoh terkenal atau bahkan orang-orang awa, dengan versinya masing-masing. Sedangkan aku sendiri punya makna tentang cinta dari dulu hingga sekarang. Cinta adalah ‘saling’. Makna yang menggantung dan plural. Makna yang aku berikan pada cinta tidak melulu tentang hal-hal positif. ‘Saling’ disini adalah saling mengerti, slaing dukung, saling menghargai, saling percaya, saling sayang, saling melindungi, saling kecewa, saling berbohong, slaing menyakiti dan masih banyak lagi lainnya. Terlepas dari itu semua, aku hanya inginkan kamu di hidupku dan terus mengajariku tentang banyak hal.



DREAMING WITH YOU


Senja selalu punya hubungan dengan awan merah bersemburat jingga.
begitu juga awan yang juga punya hubungan dengan langit luas nan elok.
Menyenangkan....
tapi,,hanya ada satu yang masih melekat mantap di otakku dan terekam dengan rapi.
ya,,Rumah sakit dan impian yang ada didalamnya......
"Hauh,,Ma,,capek nih" kataku sambil menguap.
Mama hanya geleng-geleng kepala.
"Jangan gitu dong ci, kita kesini kan mau jenguk tante ina" ujar mamaku lembut sambil membetulkan jilbab putihku. Aku hanya mangut-mangut kecil. Rasa sesal menyusup lembut dihatiku. Ya,,aku sangat menyayangi tante ina. Tante yang selalu ada untukku sejak aku kecil. Walaupun tante sudah penyakitan sejak kecil, tante hampir tak pernah bersedih. Baginya kesedihan hanya akan menambah beban.
"Assalamu'alaikum tante" ucapku girang ketika memasuki bangsal tante. Aroma ini begitu khas, karena dulu ketika kecil aku sering kesini. Aku menutup mataku. Ingatan itu kembali muncul. Ketika kecil aku pernah bertemu dengan seorang anak lelaki di bangsal anak di rumah sakit ini. Aku begitu ingat tatapan matanya ketika aku pertama berjumpa. Tajam namun penuh kehangatan. Aku tidak tahu pasti berapa umurnya. Tapi yang paling kuingat anak itu pernah melindungiku ketika aku hampir tertimpa sebuah nampan yang dibawa oleh seorang suster.
Aku nggak terlalu ingat. tapi setelah itu aku dengar teriakan dan suara panik suster dan darah berceceran dimana-mana. Sejak itu aku tidak pernah melihat anak itu lagi.
"Ci, kok ngelamun" Kata tante menyentakkan lamunanku.
"Ahhh gak kok, oh iya tante ichi mau jalan-jalan dulu ya nyari udara segar, lagi capek nih tan habis eksul di sekolah" Kataku dengan penuh semangat. Tante Ina hanya mengangguk kecil tanda persetujuan.
Aku memandangi setiap koridor yang kulewati. Rasanya tetap sama seperti dulu. Dingin, dan menakutkan. Sesekali ku coba mengintip aktivitas di setiap bangsal. Dan tentu saja yang paling membuatku kangen adalah bangsal bagian anak. Ku buka pintu putih yang dingin itu. Dari dalam langsung terdengar tawa riuh anak-anak. Mataku terfokus pada seseorang yang mereka kerubungi. Seorang cowok berambut keriting dengan mata coklat dan kulit putih dan senyum ramahnya sedang asyik menceritakan sesuatu pada mereka. Aku menajamkan pendengaranku. Samar-samar kudengar lelaki itu bercerita tentang Mimpi seorang cowok dengan seorang gadis yang disukainya dirumah sakit. "Dreaming with you" gumamnya diakhir ceritanya.
"Kakak sedang apa?" tanya seorang anak kecil mengagetkanku. Spontan seluruh mata tertuju padaku. begitu juga dengan cowok itu. Tapi aneh mata cowok itu yang tadinya ramah berubah dingin dan tajam...
dia lalu berkata sinis "Kamu siapa dasar penganggu"
Wajahku terasa memanas. Ingin rasanya aku marah tapi aku malu. Aku lalu berbalik dan hendak pergi.
"Tunggu" terdengar suara cowok itu lagi.
"Siapa yang nyuruh kamu pergi, mulai besok kamu wajib kesini" katanya cuek lalu meninggalkanku yang masih terheran-heran.
Ada apa sih ini?
bersambung....
tunggu kelanjutannya ya....



DIBAWAH SENYUMAN HUJAN


Waahh...ternyata aku terlalu asyik mengerjakan beberapa kerjaan kantorku, sampai-sampai aku tidak sadar kalau diluar sana telah turun hujan deras. Ups!! spontan aku melongo kearah luar , ku hentikan jari-jariku yang dari tadi sibuk memencet-mencet tombol komputerku. Dan mulailah kedua tanganku menopang daguku. Ku lihatin air hujan yang terus menerus turun dari langit itu...dan ku resapi setiap detakan suara yang keluar dari hujan itu. Subhanallah.... suara hujan itu menenangkan fikiranku.  Dan masih dalam tatapan kagumku.... aku tersenyum tersipu malu, tiba -tiba saja hatiku berujar...aahhh....hujan itu telah mengingatkanku tentang perjalanan kasih aku dan dia. Waktu itu.... tepatnya hari weekend, kami berdua menyempatkan diri untuk berjalan-jalan walau hanya sekedar reflesing alias cuci mata. Tanpa terasa waktu terus berlalu dan mengharuskan kami untuk segera pulang. Taaapiii.... setibanya kami didepan pintu keluar, eehh...ternyata diluar hujan deras.

Kami pun saling berpandangan seolah-olah mata kami saling memberikan isyarat,
"o..o..hujan...kayak mana kita mau pulang yach..??".
Dengan sabar kami pun menunggu hujan itu reda sambil bercerita hal-hal yang lucu. Akhirnya hujan pun reda juga, dan kami segera beranjak dari tempat itu dan kembali pulang. Selang beberapa hari kemudian setiap kali kami jalan berdua..selalu saja hujan turun, bahkan saat kami berada tepat ditengah jalan yang kami lalui. Mau tidak mau akhirnya kami pun kebasahan. Ternyata aku maupun dia, kami sama-sama menyimpan pertanyaan yang sama pula,
"kenapa yach...setiap kita jalan berdua... pasti selalu saja turun hujan".
Sampailah pada suatu hari, dimana dia akan melaksanakan sidang skripsinya, dia memintaku datang untuk melihat dan memberi semangat padanya. Waktu itu hari begitu terik, seakan-akan matahari tepat berada diatas kepalaku. Dengan langkah cepat aku pergi kekampusnya berharap aku tidak ketinggalan melihatnya mepresentasikan skripsinya. Sampailah aku disana, dengan tersenyum kecil aku menoleh kearahnya berisyarat....
"ayo cynk..semangat...kamu pasti bisa".
Tak terasa hari semakin sore, namun kegiatan itu belum juga berakhir bahkan akan disambung lagi setelah magrib. Entah kenapa... mataku ingin menatap langit sore itu. Waaahh...ternyata langit sudah mendung, hhhmm...sepertinya akan turun hujan lagi, fikirku". Bergegas ku menghampirinya dan berkata,
"masih lama lagi yach cynk???sepertinya bakalan hujan lagi hari ini, dan bisa-bisa kita kehujanan lagi pulangnya".
Dia justru membalas dengan senyuman genit, dan malah menggoda ku dengan kata-kat,
"tenang cyg..kan ada payung cinta kita, hhmm..tapi suka kan kalau hujan-hujan..biar bisa sekalian mandi hujan, iya kan???".

Spontan saja wajahku memerah kayak tomat. Magrib pun selesai dan kegiatan dilanjutkan kembali. Satu persatu pesertanya maju dan akhirnya selesai juga. Taaapii...tiba-tiba terdengar suara gemuruh, tak lama kemudian suara hujan menyusul. Semua orang yang ada disana pada mengomel-ngomel sendiri karena hujan turun disaat semuanya hendak pulang kerumah masing-masing. Tuh kan...beneran turun lagi hujannya, gumamku. Yaahh...sekali lagi mau tak mau kami pun menunggu hujan itu reda. Satu jam, dua jam, dan tiga jam berlalu, hujan itu belum juga reda, sementara malam semakin larut. Akhirnya kami sepakat untuk tetap pulang dengan menerobos hujan itu. kami berlari meninggalkan kampus itu menuju persimpangan untuk menunggu angkot yang akan kami naiki (maklum..saat itu kami belum punya kereta...hihihi).

Baju kami basah, badanku mulai menggigil, dan dingin semakin mencekam. Lama kami menunggu, belum juga ada angkot yang lewat. Hujan pun semakin deras, kami berdiri merapat, dengan jaket yang basah dia tetap memberi alas kepalaku, dan dia merangkulku hangat. Saat itu yang bisa kami lakukan hanya senyum-senyum, tertawa-tawa, dan sesekali saling mengejek. Sesaat kami terdiam dibawah senyuman hujan, menghitung berapa kali kami sering kehujanan. Tiba-tiba saja dia tertawa kecil, samar-samar ku dengar dia berucap "UTJAN".

Aku memandanginya lalu bertanya apa artinya. Kemudian dia menjelaskan, UTJAN itu adalah HUJAN. Karena kita berdua sering kehujanan, jadi nama itu saya hadiahkan untuk cyg. Berharap saat memanggil nama itu, semua kenangan harini tidak pernah terlupakan, saat kita berdiri kedinginan dibawah senyuman hujan serta terciptanya nama UTJAN. Angkot yang kami tunggu pun akhirnya datang, dan kami segera pulang.



Aku dan gadis perpustakaan

Pertama kali kulihat dirinya ada di perpustakaan, gedung tertua sekolah kami, termasuk gedung paling jarang dimasuki. Tempat yang angker juga paling ngebosenin di seluruh sekolah. Aku pun pada awalnya datang ke tempat itu Cuma buat tidur atau kalo nggak ya, menghindar dari cewek-cewek dengan lirikan mata paling jijay atau cowok-cowok yang ceweknya pada lari begitu ngelihat gue di sekolah.Siapa sih, yang nggak kenal Roni di SMU ini? Tampang, oke. Tinggi, oke, badan, oke, otak, ya... lumayanlah.

Kan ada olahraga sebagai penyeimbang. Di dunia ini nggak semuanya sempurna. Pasti ada yang kurang supaya kita nggak disangka anak dewa. Toh selebihnya gue yang paling oke dan paling tenar di sekolah.Begitu gue lihat, semua cewek-cewek menyingkir dengan tatapan terpesona, dan begitu juga para cowoknya, dengan tampang memelas karena dicuekin sama cewek-cewek ini. Yah, ini aja udah cukup kan, ngegambarin siapa gue?Tapi kali ini kita nggak akan ngebahas soal surat-surat yang ada di laci meja gue, surat cinta maupun surat tantangan, atau hadiah Valentine yang sampai menumpuk (gue nggak suka coklat gitu, paling di kasih sama anak tetangga. Tuh, ada Dion umur 6 tahun yang paling doyan ama coklat. Moga-moga aja dia nggak tambun kayak pemain sumo yang gue liat di TV), ataupun ajakan jalan dari cewek-cewek yang udah kasmaran ama gue.

Topik yang ngebosenin, tapi tetap aja dibicarain. Eh, nggak. Bukan itu semua kok.Ini tentang dia, cewek manis yang nggak pernah terlihat sampai saat ini, sampai aku pergi ke perpustakaan.Namanya Dinda Aprilia, kulihat namanya di daftar peminjam di resepsionis. dia adalah peminjam tetap yang minimal meminjam dua buku, dua kali dalam seminggu. Datang setiap hari Senin dan Kamis, begitu datang selalu duduk di kursi nomor dua-dua, di samping jendela yang menghadap ke lingkungan sekolah kami. Kan gedung ini ada di lokasi paling belakang dan di tengah. Jadi kalau melihat ke luar jendela yang ada di lantai dua itu, semua lingkungan sekolah sampai ke gerbang kelihatan semua.Tingginya biasa-biasa saja. Kulitnya kuning langsat, rambutnya sampai di atas dada, kelihatannya tipis dan lembut. Wajahnya kalau membaca buku... tenang sekali.

Mungkin karena cahaya matahari yang menembus kaca jendela itu membuat wajahnya bersinar?Entahlah, tapi waktu menatapnya, rasanya sama sekali nggak bisa berhenti. Melihatnya yang begitu tenang, lembut dan konsentrasi, rasanya nyaman sekali. Terkadang saking konsentrasinya dia lupa pada keadaan sekitar. Kadang sedih, deg-degan dan tertawa sendiri waktu membaca buku. Buku yang pernah dibacanya sangat beragam. Dari buku komik, sampai buku-buku tebal yang bahkan nggak aku tahu judulnya.Tapi ada saatnya, waktu dia nggak membaca, dia merenung melihat keluar jendela sampai tertidur.

 Manis sekali. Rasanya pengen banget jadiin dia pacar.
 Tapi……………………………………………..
Waktu tanpa sengaja berpapasan dengannya (lebih sering di sengaja). Dia nggak terpesona sama sekali ma aku!!! Dia cuek banget dan nggak sadar kalau aku lewat. Bahkan matanya nggak pernah fokus melihat apapun. Harusnya dia bisa sadar kalau ada aku kan? Aku punya aura yang bisa membuat cewek-cewek menoleh dalam jarak 24 meter. Tapi dia?! Dalam perbedaan satu inci pun sama sekali nggak perduli!Haaah.... kenapa aku nggak ketemu dia sebelumnya ya? Nah, lupa sudah kata 'gue' saking gregetnya liat tu cewek. kayaknya gue harus bikin rencana jitu buat tu cewek takluk (yah, paling nggak sadar kalau gue itu 'ada')."Hai." Tanyaku mengambil kursi dan duduk di depannya. lamunannya langsung terpotong begitu saja untuk melihat siapa yang datang. detik-detik terasa jadi lebih lama sejak dia menengok ke arahku. dia ini lagi mikirin apa sih?dia lalu mengangguk, lalu meneruskan lamunannya ke luar jendela. kalau dipikir-pikir, nggak mungkin cuma melamun kalau melihat keluar jendela bahkan setelah disapa orang. jadi sebenarnya dia sedang apa? masa lagi merhatiin orang? pikirku ikut melihat ke luar jendela."Mencari apa?" suara cewek terdengar. kagetnya.... baru kali ini kudengar suaranya. pandangan matanya sama sekali nggak berubah. apa dia punya radar?"Kamu sendiri? oh iya, kita belum kenalan. namamu siapa? namaku...""Roni." potong cewek itu. matanya yang sendu masih tetap nggak menatapku. "Playboy Legend at School. kau terkenal sekali. namaku Dinda Aprilia."baru sekali itu dia mata kami bertemu. sinar mentari membuatnya lebih berkilauan dari biasanya.

ini yang membuatku selalu penasaran.
sebenarnya... apa yang membuatku begitu tertarik sama dia ya? yang paling penting, sebenarnya dia itu lagi melihat siapa?

“Kamu  sebenarnya lagi melihat apa sih?” Pagi ini terlalu suntuk buat hari yang cerah, dan di hari yang cerah ini sudah ada pasar pagi yang terlihat begitu kita membuka pintu. Di kelas XI yang jumah muridnya nggak lebih dan nggak kurang dari 40 orang ini, semua terlihat begitu sibuk dengan grupnya masing-masing. Ada beberapa option; grup gosip, grup olahraga, atau grup iseng. Ada satu grup kecil, yaitu grup rajin. Karena grup ini anggotanya sedikit, kita coret saja dari daftar. Yang jelas, grup-grup ini tercipta karena satu alasan yang sama: nggak ada kerjaan.“Pagi Roni....” Terdengar salam centil di sebuah pagi yang cerah di pasar pagi yang ada di kelasku.

Berbeda dari cewek-cewek pada umumnya, cewek-cewek yang ada di kelas ini merasa mendapat berkat yang nggak boleh di sia-siain. Mereka merasa bahwa sekelas denganku berarti boleh melakukan apa saja denganku. Mulai dari memberi salam, mengajak jalan, bahkan membuat bekal. Dengan berbagai alasan mereka mengajakku ngobrol. Ngebosenin.“Ron, aku punya tiket...”“Gue sibuk!!” potongku cepat. Nggak boleh ada satu celahpun buat mereka. Tapi seperti pepatah, ‘gugur satu tumbuh seribu’, selalu saja ada yang nanya-nanya.“Iiihh... kok Roni jadi dingin sih?” Gerutu cewek-cewek itu. Dingin? Gue?“Kau memang kelihatan dingin akhir-akhir ini.” Tegas Chandra, siang ini. Chandra, atau Chan si tenar dua di sekolah ini. Kebetulan, dia tetangga yang juga satu kelas dengan gue. Kebetulan, dia Ketua OSIS en yang pasti berotak encer. Kebetulan, dia jadi rival gue di tim basket. Yah, sayangnya dia nggak punya penampilan oke kayak gue. Entah karena sibuk atau gimana, dia kucel dan nggak pernah merhatiin penampilan. STOP!! Lagi-lagi kebiasaan...“Kok bisa?” Gue nggak percaya ini. Sampai Chandra juga.“Biasanya kamu yang tingkat PDnya tinggi nggak bakal nolak cewek kayak gitu. Kau juga yang bilang, kalau cewek itu harus diperlakukan baik, supaya mereka senang.

Selama ini kalau nolak cewek, nggak pernah tuh kamu bilang ‘sibuk’ dengan nada ketus.”Iya ya. Sejak kapan gue jadi begini? Sejak... sejak ketemu dengan cewek itu... “Kamu belum jawab pertanyaanku...” Gue akhirnya nanya lagi. Sudah seminggu lebih dengan jadwal yang sama, gue ngobrol sama dia.“Yang mana?” Tanya dia balik. “Kan sudah ku bilang, namaku Dinda Aprilia, kelas X. Masa nanya tempat tinggalku juga?”“Eh, nggak segitunya sih...” Jawabku cepat. Dia jarang berekspresi macam-macam kalo ngomong. Tapi kalo lagi baca, bisa jadi makhluk seribu wajah. “Kamu kan sering melihat keluar, bahkan sampai bengong. Sebenarnya lagi nyari apa di luar.”Dia terdiam menatapku. Tatapan yang bisa membuat orang salah tingkah karena seperti ditatap dalam-dalam, heran dengan apa yang kutanyakan. “Aku mencari cinta.”Cinta? Untuk apa mencari cinta?“Kalau Roni tidak mungkin mencari cinta. Cinta akan datang dengan sendirinya. Pasti Roni berpikir seperti itu kan?” Kenapa dia bisa baca pikiranku?! Terseyum, dia merapikan buku yang dibacanya. “Pernah Roni jatuh cinta?”Gue ditanya pernah jatuh cinta sama anak kelas 1?! Apa-apaan ini?!“Kayaknya nggak pernah.

Karena terlalu banyak yang mengejar, nggak sekalipun berpikir ada cinta disana. Iyakan? Beda denganku, aku Cuma punya satu cinta dalam hidupku.”“O... First Love? Di sekolah ini?” Tanya gue penasaran. “Siapa?”Lagi-lagi dia diam. Kayaknya ragu-ragu gitu. Dia menatap gue dan tersenyum kecil. “Ada. Tenang aja, bukan Roni kok!!”Kok... rasanya aneh ya. Gue kan Cuma penasaran sama cewek ini? Kenapa begitu dia bilang...“Kok ngomong gitu? Memangnya aku kenapa?” Tanyaku dengan tawa basa-basi.“Roni ke sini buat kabur kan? Dari cewek-cewek yang di sana itu.” Katanya melirik ke luar. “Lagipula, kalau melihat Roni yang menghadapi mereka, pasti Roni punya PD yang tinggi. Aku nggak mau ada yang salah paham melihat kita dekat begini, dan kesempatanku kandas.”Bukan buat gue... dia dari awal memang nggak suka gue...Dia dari awal sudah punya orang lain. Dan nggak bakal bisa berpaling ke orang lain... TUNGGU DULU!!! KENAPA JUGA GUE JADI KEPIKIRAN KAYAK GINI!!!Gue ini orang paling oke di sekolah. Nggak sedikit yang nge-fans sama gue. Nggak sedikit yang gue terima, tolak n gue abaikan gitu aja. Kenapa sama satu cewek ini... satu cewek ini...“Lo betul-betul suka sama cowok itu?” Tanya gue sekali lagi. Dia mengangguk. “Bilang, siapa namanya. Gue bakal bantu.”Dinda tercengang sesaat. Dia menggeleng. “Nggak usah, ini masalahku sendiri. Aku nggak diam saja kok! Aku masih terus, dan akan terus berusaha.”“Aku deket sama dia dari SMP. Ternyata, begitu lulus SMP, dia pindah ke SMA ini.

Padahal sekolah kami sampai SMA. Mungkin karena pekerjaan orang tua. Tapi kaget juga,  begitu ketemu di sekolah ini, dia berubah...”Berubah... berubah seperti apa?“Ada apa lagi?” Tanya Chandra mengagetkan gue dari belakang.“Nggak, nggak ada apa-apa... Cuma...”“Cuma?”“Ada cewek ...”“Selamat!!”“Loh, kenapa?”“Karena ada cewek...” Jawab Chan simple.“Sialan lo..” gue nggak tahan nggak senyum. “Gue serius nih!! Nggak usah bahas cewek deh! Ndra, kalo kita suka sama orang, trus waktu orang itu pergi kita ikut, wajar nggak!!”“Dasar idola. Sampai ada yang pindah ke sini buat ngejar.” Kata Chandra. “Jadi dia yang bikin kamu berubah? Jadi kamu suka sama cewek itu ya?”“Nggaklah, mana mungkin.” Jawabku cepat. “Gue Cuma penasaran sama cewek itu. Gue liat dia di perpus, terus gue ngobrol sama dia. Terus...”“O... gitu ceritanya...” Potong Chandra. “Kamu nggak suka sama dia. Tapi kamu CINTA sama dia...”“Sudah gue bilang!!! Bukan!!!” Huh!!! Gue bisa gila kalau ngomong sama Chandra yang kumat jahilnya! “Gue Cuma ngobrol sebentar sama dia kok!! Dia yang selalu duduk dekat jendela besar di lantai dua itu, anak kelas 1 yang...”“Dinda... Aprilia?” Gumam Chandra pelan. Bahkan seperti berbisik.“Lo kenal, sama Dinda Aprilia?” Tanyaku agak kaget. Chandra langsung menggeleng. Dia menghindar. Chandra, jangan-jangan lo...




Aku terlalu panik

“Aku terlalu panik....Aku kehilangan jejak jantung hati dan buah hatiku...” Arman masih saja duduk bersandar di salah satu pilar di lantai bawah mall terbesar di Bandung itu. Matanya liar menyusuri setiap lorong mall, dari lantai bawah sampai lantai atas, dari ujung kanan sampai ujung kiri. Sesaat matanya terpaku pada serombongan gadis berseragam SMA yang baru masuk sambil bercanda ria. Ingatannya kembali ke masa beberapa tahun yang lalu ketika dia begitu terpana melihat kecantikan seorang gadis kelas 2 SMA  yang setiap hari berjalan melewati kantin kampusnya,  sebuah perguruan tinggi swasta di bilangan Bandung selatan tempat dia belajar.

Sebagai anak kampung  Arman hanya bisa mengagumi kecantikan gadis itu dari jauh, maklum di salah satu desa di Sukabumi tempat dia dilahirkan sampai dengan lulus tidak pernah ditemui gadis yang  menarik perhatiannya. Seminggu terakhir dia selalu mengintip dari  balik jendela kantin, dengan bermodalkan segelas es teh manis dia bakalan betah berjam-jam menunggu gadis yang dikaguminya. “Hayooo!!!ngintip lagi ya?”. Arman kaget bukan main, ternyata dibelakang dia muncul gadis yang dia kagumi selama ini. “Kenalkan saya Arleta!”, katanya sambil menyodorkan tangannya .

Ragu-ragu Amran menyambut uluran tangan Arleta , “Saya Arman”. Sejak saat itu mereka sering ngobrol tentang banyak hal. Arman lebih banyak mendengarkan karena dia merasa bagai pungguk merindukan bulan seandainya harus berharap banyak dari Arleta walaupun dalam hati ada rasa suka. Sampai suatu saat senior di kampus, Intan, mendekati dia,“Man, Leta jatuh hati tuh sama kamu!”.

Arman kaget, tapi jawaban Intan menjelaskan semuanya,“ Aku kakak satu-satunya Arleta, dia adikku satu-satunya, aku tau kamu dari dulu, dibalik penampilanmu yang mirip preman , ada pribadi yang layak dicintai dan aku rela kamu jadian sama Leta”. Memang secara penampilan Arman berambut gondrong, selalu pake kaos oblong, celana jeans yang dipakai juga bolong-bolong. Seringkali dia terlihat menghisap sebatang rokok sambil nongkrong. Tapi itulah cara dia menyesuaikan dengan kawan-kawan di kostnya yang umumnya anak punk. Jatidiri sebagai anak desa rupanya masih membuat Arman minder sehingga setelah jadian dengan Arleta dia lebih memilih backstreet. 

Sebaliknya, bagi Arleta, Arman sudah jadi cinta matinya. Tak seharipun lewat tanpa berdua dengan kekasihnya itu. Dia rela kehujanan di atas sepeda motor Honda Grand butut milik  Arman, dia ikhlas makan jagung bakar di pinggir jalan yang penting berduaan. Sementara Intan, sang kakak, yang sejak semula memang mendukung hubungan mereka hanya tersenyum memperhatikan dari jauh. Dia ikut bahagia melihat adiknya bahagia. Hal ini membuat Arman ada keberanian untuk berterus terang kepada orang tua Arleta.  Rumah mewah bagai istana cukup membuat kecut nyali Arman. Langkah kaki Arman untuk cabut dari halaman rumah itu tertahan oleh tarikan tangan Arleta yang memaksa dia untuk masuk ke ruangan yang penuh dengan pernak-pernik kristal berbagai ukuran, sebuah patung macan dengan taring yang cukup menyeramkan duduk dengan anggunnya di tengah ruang tamu, dari foto keluarga terlihat bahwa ayah Arleta seorang perwira tinggi angkatan darat.  “ Maa, Paa, sini aku kenalin sama pacarku.....” Arleta masuk ke dalam sambil teriak-teriak.

Arman menunggu... Tiba-tiba keluar seorang wanita dengan penampilan cukup elegan,tapi langkahnya terhenti setelah melihat Arman. Dia perhatikan Arman sejenak, lalu bergegas dia kembali masuk. Tidak berapa lama, seorang bapak keluar dan mendekat, dengan cepat Arman berdiri mengulurkan tangan, tapi tidak bersambut.  Arman salah tingkah melihat si bapak hanya diam, melihatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki seolah-olah ingin menelanjangi sampai kedalam hatinya.“ Berani sekali kamu mendekati anak saya!...sekali-kali tidak akan saya ijinkan anak saya berhubungan dengan potongan berandalan seperti kamu. Sekarang juga kamu pergi dan jangan temui anak saya lagi!”. Arman gemetar,  bukannya sambutan hangat tapi justru makian yang di dapat. “Apakah ini karena penampilan luar saya?”, Arman mencoba menerka-nerka dalam hati.“Keluar!”, Arman tersadar, dengan penuh ketakutan dan langkah tergesa-gesa Arman segera pergi, sayup-sayup dia masih sempat mendengar tangisan Arleta “Ada apa ini Pa, Ma? kenapa Mas Arman diusir? Apa salah dia?”.  Berhari-hari Arleta bagai orang gila, setiap hari dia mencari Arman di seluruh pelosok kampus, matanya yang sembab menunjukkan bahwa dia terlalu sering menangis. Arman seolah menghilang dari peredaran, tidak ada yang bisa menunjukkan jalan, dicari di tempat kost pun tidak ditemukan.

Arman sadar akan hal itu, hatinya sebenarnya perih harus menyembunyikan diri di salah satu ruangan di kampus itu, sementara di luar sana ada seorang gadis yang sangat dia cintai harus mengabaikan perasaan malu berlari  kesana kemari sambil bertanya kepada setiap orang yang dia temui tentang keberadaan Arman. Tapi Arman  berfikir bahwa itu mungkin jalan yang terbaik, percuma dia tetap menjalin hubungan yang sama sekali tidak direstui oleh orang tua kekasihnya.

Tamparan keras mendarat di pipi Arman ketika dia dengan sembunyi-sembunyi keluar lewat gerbang belakang kampus. “ Ada apa ini mbak? Apa salah saya?”. Arman tidak marah, dia hanya kaget, dia tahu kenapa Intan tiba-tiba muncul dan menamparnya.“Kamu mau membunuh Leta? Kamu mau membuat adikku satu-satunya gila?” Intan tidak mampu melanjutkan kata-katanya, dia terduduk dan menangis sejadi-jadinya. “ Aku juga sakit mbak, Arleta seperti dewi dalam hidupku, dia itu yang membuat hari-hari berjalan dengan indah. Senyumnya membuat masalah apapun yang aku hadapi seolah sirna.


Keikhlasan dia untuk selalu bersama dalam suka dan duka selama ini membuat aku merasa berharga. Dan tiba-tiba aku harus meninggalkan semua itu? Mbak paham apa yang aku rasakan?”. Arman duduk disebelah Intan sambil matanya menerawang.” Apa yang  harus aku lakukan Mbak?”. “ Man, temui Arleta, entah apa yang akan kamu katakan tapi buat dia  kembali jadi adikku yang dulu lagi, sekarang aku benar-benar kehilangan sosok Arleta yang ceria” Pelukan Arleta benar-benar membuat Arman tidak bisa bernapas. “ Sudah Arleta, malu sama orang, kita di tengah jalan nih”. Arleta memang terlihat kurus, badannya  tidak terawat, rambutnya acak-acakan, mukanya pucat, kantung matanya menghitam. Tapi senyum Arleta menghapus semuanya“ Dia benar-benar dewiku” batin Arman. Betapapun kondisi dia, selalu mampu membuat Arman kembali bergairah menjalani hidup. Suara merdunya yang selama ini hilang dan sempat membuat hatinya gersang sekarang mampu menumbuhkan kesejukan.

Untuk sejenak Arman merasa bahagia. Namun jauh di lubuk hatinya dia masih tidak belum tau apa yang harus dibicarakan dengan Arleta. Rasanya sangat kejam seandinya kebahagiaan mereka saat itu harus kembali hancur karena pembahasan masalah penolakan orang tua Arleta atas hubungan mereka. Arman hanya membiarkan kepala pujaan hatinya itu bersandar pasrah di dadanya. Masing-masing terdiam, masing-masing ingin meresapi kebahagiaan yang sedah mereka rasakan. Sunyi. Sepi. “ Man, aku hamil aja ya!”. Arman terlonjak, benar-benar tidak menyangka muncul kata-kata itu. Begitu lama saling diam ternyata muncul kata-kata yang bahkan  tidak pernah terlintas dalam angan-angan Arman yang paling liar sekalipun. “ Man, kalo aku hamil Papa dan Mama pasti mengijinkan kita menikah, aku tidak mau kehilangan kamu Man”. Arman selanjutnya hanya terdiam, “ Apakah benar begitu?” Arman membatin. “ Aku mencintai Arleta sepenuh hatiku, seminggu tidak ketemu Arleta serasa seabad, tidak mendengar suaranya membuatku seperti terlempar di padang yang gersang.

Sejujurnya aku mengharapkan menikah dengannya. Tapi apakah harus dengan jalan seperti ini? tapi...., apakah ada cara lain?”. Hari-hari bahagia kembali mengiringi dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Rona bahagia Arman, keceriaan Arleta, tak pelak membuat hati Intan bergembira. Sampai kemudian didapati Arleta positif hamil. Hal yang memang ditunggu-tunggu oleh sepasang kekasih itu.

Mereka berharap ini bisa menjadi pengikat hubungan mereka berdua. Mereka berharap orang tua Arleta akan luluh mendengar buah hatinya akan mempersembahkan cucu yang tentunya akan melengkapi keceriaan di dalam rumah mereka yang belum pernah terdengar celotehan bayi mungil, buah hati Arleta dan Arman. “Apaaa...!!!” , suara Papa Arleta begitu menggelegar, tidak pernah sekalipun Arleta mendengar papanya berteriak sekeras itu. Apalagi ditambah suara mamanya yang diiringi tangisan mempertanyakan perihal kehamilannya itu. “ Siapa yang berbuat Nak!, katakan sama Mama, siapa yang bertanggung jawab terhadap jabang bayi yang kamu kandung?”. Arleta sudah menduga akan seperti ini, dia sudah siap mental untuk dimarahi papa dan mamanya. Sementara itu, Intan diam-diam mengintip apa yang terjadi di ruang keluarga.

Dia tidak berani keluar, cukup mencuri dengar dari pintu kamarnya. Dia baru bisa menebak-nebak kira-kira siapa yang jadi ayah dari bayi yang dikandung Arleta. “ Arman Pa, Ma....”, jawab Arleta lirih. Saat itu Intan tidak tahu harus sedih karena adiknya hamil di luar nikah, atau tersenyum karena ternyata yang ada dalam kandungan Arleta adalah buah dari Arman. Intan tersenyum “ Hi hi...pasti Papa dan Mama minta Arman untuk bertanggung jawab”. “ Anak berandalan itu ternyata memang bajingan! Ma, bawa Leta ke kamar, kunci dari luar, jangan sekali-kali dia boleh keluar. Ambil hapenya, cabut telepon yang ada di kamarnya. Arman bajingan!”.

Papa Arleta langsung keluar rumah sambil menggebrak pintu, sementara tangisan Arleta pecah sampai kemudian hilang setelah masuk ke dalam kamar. Mama Arleta tergopoh-gopoh membawa hp, telepon kamar dan kunci kamar kemudian bergabung dengan suaminya di beranda rumah. Mendiskusikan sesuatu. Sudah beberapa hari Arman sama sekali tidak mendapat kabar tentang Arleta.

Tapi dari Intan dia jadi tahu bahwa kekasihnya disekap di kamarnya. Akhirnya demi mempertanggung jawabkan apa yang telah dia perbuat, Arman dengan penuh percaya diri berangkat ke rumah Arleta.Suasana sore itu agak gerimis, mobil dinas ayah Arleta sudah berada di garasi.  Bel sudah dipencet tapi belum ada tanda-tanda orang tua Arleta akan keluar dari rumah. Tiba-tiba pintu terbuka dan sesaat sebuah bogem mentah mendarat tepat di muka Arman, dia terjungkal beberapa meter ke belakang, belum sempat dia bangun sebuah tendangan mendarat di perutnya, dia mengaduh, tapi masih ada tenaga untuk berdiri. Tapi terlambat, ayah Arleta sudah mengokang pistolnya dan mengacungkannya ke arah Arman. Pandangan mata Arman masih kabur, darah segar mengalir deras dari hidungnya, tapi dia sudah menyadari bahwa nyawanya terancam setelah ujung laras pistol yang dingin menekan pelipisnya. “ Om, saya mau bertanggung jawab Om, saya mau menikahi Arleta Om” ratap Arman, sakit di perut dan kepalanya memang sudah tidak tertahankan lagi. “ Jangan banyak bicara anak sialan, sekarang juga kamu harus menghilang dari Bandung, atau besok tinggal jasadmu saja yang tergeletak tak bernyawa”. “Kriiiiing!!” Entah suara darimana membuat Intan terbangun tiba-tiba dari tidur lelapnya.

Dia lihat Mamanya sudah berdiri di dekat pintu kamar sambil membawa jam weker kesayangan Papa, padahal sekilas dia lihat jam dinding baru menunjukkan pukul lima pagi. “ Intan, cepat berkemas, bawa pakaian secukupnya, bawa semua buku kuliah yang kamu punya” , tanpa ekspresi Mama meninggalkan kamar anak sulungnya itu.

Kalau sudah begini Intan tidak berani membantah, dia tahu tabiat mamanya. “Ini pertanda buruk!”, tebak dia. segera berkemas dan  masuk mobil yang sedari tadi sudah parkir di depan gerbang keluar rumah. Dilihat adiknya yang dia sayangi meringkuk di dekat jendela, tatapan matanya kosong ke arah Intan, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. “Kita mau kemana Pa?”, tanya Intan memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti perjalanan yang tidak jelas kemana arahnya. Tanpa menoleh ke arah Intan, Papanya hanya menjawab “ Kalian lebih baik pindah sekolah daripada tetap di Bandung tapi bikin malu keluarga!”. Intan tidak berani membantah atau melawan kata-kata papanya. Bulan berlalu.....Intan dan Arleta tidak ada kabar berita....Arman melarikan diri tepat ke Yogya pada malam dia diancam akan dibunuh oleh papa Arleta. Berulang kali kerinduan terhadap jantung hati dan buah hatinya harus dipendam karena tidak tahu harus menghubungi siapa. Telpon rumah Arleta sudah diganti setelah beberapa kali dia mencoba menghubungi.

Orang tua Arleta memang sengaja menutup semua akses sehingga Arman sama sekali putus komunikasi dengan Arleta maupun Intan. Arman sudah putus asa dan sedikit demi sedikit dia mampu keluar dari bayang-bayang masa lalu. Pekerjaan sekarang sebagai tourist guide sudah cukup menghidupinya dan menata hidup yang lebih baik.  “ Arman ya?”, sesaat Arman kaget mendengar suara itu. Tapi kata-kata itu sepertinya tidak asing bagi dia. “Mbak Intan? Apa kabar Mbak?Dalam rangka apa mbak ke Candi Prambanan? Sama siapa mbak? selama ini kemana? Arleta mana? Anak saya gimana?....”. Rentetan pertanyaan itu sepertinya tidak butuh jawaban lagi ketika Intan menunjukkan sebuah foto bayi laki-laki mungil yang sedang tersenyum riang.

Tanpa sadar air mata Arman mengalir, air mata keharuan, air mata kebahagiaan, air mata kerinduan. Senyum bayi itu mengingatkannya pada keceriaan Arleta, melihat sorot matanya yang tajam Arman yakin bahwa bagian itu mewakili dirinya. Mudah-mudahan Arleta masih ingat dengan tatapan mata itu. “  Namanya anakmu Yoda,  Arleta dinikahkan oleh Papa dengan salah satu anggota Papa”. Panitia study tour kampus Intan sudah memaksa mereka naik bis, entah karena terlalu bahagianya hingga Arman lupa menanyakan di mana mereka sekarang. Arman menyesal, tapi potret buah hatinya sudah berada digenggamannya, hari-hari selanjutnya membuat Arman bertekad untuk dapat melihat buah hatinya secara langsung. Sudah seminggu Arman kembali ke Bandung, dengan alasan ngambil cuti ke Sukabumi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk memata-matai rumah Arleta. Tapi hasilnya masih nihil.             
“ Kalaupun Arleta sudah tidak di rumah ini, aku yakin dia masih di sekitaran Bandung, bukannya suaminya sekarang adalah anak buah papanya?” demikian perasaan Arman menebak.  Sore itu Arman mengajak kawan-kawan yang dulu satu kost dengan dia jalan-jalan ke mall tempat biasa mereka mangkal. Mall yang lumayan besar. Walaupun hanya sekedar duduk-duduk di lantai dasar mall sambil ngobrol cukup membuat Arman kembali mengingat masa-masa dulu. Waktu kuliah di kota itu. “Sudah cukup banyak perubahan” batin Arman sambil menyusuri lantai demi lantai.  Tiba-tiba, deggg.....jantung Arman terasa berhenti. Dilantai tiga dia lihat seorang perempuan yang tidak mungkin dia tidak mengenalinya. Rambut panjang, langkah yang gemulai, walaupun badannya sedikit kurus tapi dia yakin bahwa itu Arleta, sosok yang dia cari selama ini. Kaca mata hitam yang dia kenakan tetap tidak membuat Arman lupa parasnya yang cantik.

Sementara beberapa langkah di belakangnya, seorang laki-laki dengan potongan yang tegap, rambut cepak,menggendong bayi mengikuti kemana perginya Arleta. “ Pasti suaminya, karena yang digendong itu Yoda, anakku yang aku cari “ Arman mengguman sambil bangkit. Sambil berlari naik ke atas, mata Arman tidak sekalipun lepas dari sosok Arleta yang masih tidak sadar bahwa ada ayah dari Yoda di tempat yang sama. Arman sudah berada di lantai yang sama, dia mengambil arah dari depan Arleta. Semakin dekat...dan semakin dekat. Jarak mereka hanya tinggal beberapa meter. Arman terdiam di tempat tidak sanggup berkata apa-apa. Sementara Arleta juga ikut terdiam, sepertinya dia kaget ada seseorang yang tiba-tiba berhenti tepat dihadapannya, perlahan-lahan dia lepas kaca mata hitamnya. Nampak jelas matanya sudah berkaca-kaca, bahkan beberapa butir air matanya mulai menetes deras membasahi pipi. Bibirnya bergetar, seakan kerinduan yang selama ini begitu menyesakkan dadanya akan meledak saat itu juga. “ Arman?....” terdengar lemah di telinga Arman tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa Arleta juga memiliki kerinduan yang sama. Arman perlahan mendekat, mengulurkan tangannya, demikian juga Arleta. “ Ada apa Ma?” suasana itu terobek oleh kata-kata suami Arleta yang melihat ada yang aneh dengan istrinya. Sepertinya kehadiran Arman di tempat itu tidak begitu diperhatikannya. Arman panik, segera saja dia melanjutkan langkahnya, cepat-cepat menjauh dari mereka. “ Nggak apa-apa Mas, mata saya kelilipan”. Itulah suara Arleta yang terakhir kali terdengar oleh Arman. Setelah merasa sudah cukup aman, Arman kembali balik kanan untuk bergerak menuju lokasi Arleta dan suaminya.

Tapi suasana mall sangat ramai, berkali-kali Arman harus berdesak-desakan untuk mendapatkan jalan sampai didapati Arleta dan suami serta anaknya sudah tidak ada lagi di tempat semula. Seperti kesetanan Arman berlari ke sana kemari, matanya liar mencari dari lantai bawah sampai lantai paling atas namun jantung hati dan buah hatinya tidak di dapati. Tapi dia terus mencari dan mencari. Berjam-jam  Arman mencari, berlari dari lantai bawah ke atas, kembali lagi, keringat yang membasahi tubuhnya tidak dihiraukan. Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa mereka masih berada di mall. Arman hanya bisa terduduk di lantai bawah mall. Kecapekan. Menyesal. Sedih. Aku terlalu panik....Aku kehilangan jejak jantung hati dan buah hatiku...”   





Read More

0 Responses to CERPEN

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.